Konflik Kelembagaan (Benturan Kepentingan Dan Tumpang Tindih Kewenangan) Yang Kemungkinan Dapat Terjadi Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Bagaimana Cara Mengatasinya * Muliyadi

https://i0.wp.com/sphotos-a.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-prn1/c47.0.403.403/p403x403/45832_532422863447094_1663177397_n.jpgDalam proses pengelolaan wilayah pesisir kemungkinan konflik kelembagaan antara benturan kepentingan dan tumpang tindih kewenangan dapat terjadi karena; berbagai pengguna/ pemakai sumberdaya alam (multiple resouce user) berada bersama-sama diwilayah pesisir, misalnya nelayan, petambak, petani, pengusaha industri, pengusaha hotel dan rekreasi wisata, penduduk kota pantai, pengusaha perhubungan laut dan lain sebagainya. Konsentrasi penduduk didunia, sebagian besar berada di wilayah pesisir. Para pengguna/pemakai sumberdaya alam di dalam menggunakan sumber-sumber tersebut selalu berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan mereka masing-masing pengguna/pemakai sumberdaya alam pantai akan berusaha secara maksimal untuk menggunakan sumberdaya tersebut (misalnya lahan, air, ikan). Keterbatasan sumberdaya alam pantai yang ada paling tidak untuk priode waktu tertentu, serta adanya kecendrungan memaksimasi penggunaannya oleh berbagi pihak akan menimbulkan konflik yang tajam diantara para pengguna/pemakai sumberdaya alam pantai. Selain itu berbagai entitas/lembaga di Indonesia misalnya (Perhutani, Pertamina, PU, Pemda, Ditjen Perikanan, Ditjen Pertanian, BPN, KLH) mempunyai kewenangan didalam pengelolaan kegiatan dan sumberdaya alam di wilayah pesisir, kewenangan lembaga-lembaga tersebut adalah saling berkaitan cakupannya (scope) kadang-kadang tidak jelas dan saling tumpang tindih (duplication overlapping). Wilayah kewenangan/juridiksi mereka adalah berdekatan dan kadang-kadang juga saling tumpang tindih. Dasar-dasar aturab formal dan kebijakan yang digunakan didalam pengelolaan adalah terfragmentasi, tidak konsisten satu dengan yang lain atau bahkan bertentangan. Faktor-faktor diatas ditambah dengan misi dan interes yang berbeda dari berbagai entitas/lembaga tersebut akan merupakan pemicu bagi konflik yang tajam antar entitas/lembaga.

Kecendrungan yang nyata dari konflik antara para pengguna/pemakai dan pengambil kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya alam pantai. Konflik tersebut pada prinsipinya timbul karena masalah eksternalitas dan overuse. Masalah eksternalitas adalah dampak yang terjadi pada pihak ketiga diluar proses transaksi ekonomi. Upaya untuk menginternalkan faktor eksternal tersebut dapat dilakukan melalui memasukan biaya sosial (social cost) kedalam proses produksi (caranya bermacam-macam misalnya dengan membuat quota pencemaran untuk area tertentu, peraturan pencemaran, effluen caharges,bargaining –negosiasi antara pihak ketiga dengan pihak pencemar lingkungan). Overuse terjadi karena setiap “user” berusaha memaksimalkan pengguna/pemakai sumberdaya alam. Konflik akibat eksternalities dan overuse apabila tidak ditangani secara segera dan tepat akan menimbulkan menurunnya kualitas lingkungan. Konflik inipun akan menimbulkan golongan lemah (berpendapatan rendah, tidak mempunyai kekuatan politik) akan semakin menderita dan selajutnya tergusur dari wilayah pesisir.

Problem dan  konflik   yang cendrung  terjadi akibat adanya “multiple managemen entities” adalah fragmentasi didalam pengambilan keputusan, duplikasi/overlapping kewenangan/jurisdiksi dan konflik kepentingan. Di dalam pegelolaan administrasi publik, fragmentasi di dalam pengambilan keputusan, duplikasi/overlapping kewenangan/jurisdiksi adalah tidak efektif dan tidak efisien maka konflik tersebut harus dipecahkan.  Konflik kadang-kadang mempunyai dampak positif dalam merangsang kreatifitas pemecahan masalah di dalam managemen publik. Namun konflik kewenangan dan kepentingan yang berkepanjangan akan menghambat pencapaian tujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan wilayah dan ekosistem pesisir.

Sebagai contoh yang sering menimbulkan konflik antar daerah yaitu:

ò  Batas wilayah

ò  Pemanfaatan sumberdaya

ò  Tumpang tindih kewenangan

ò  Benturan kewenangan.

Adapun cara mengatasi konflik tersebut adalah dengan persyaratan bahwa bagi pihak yang bertikai harus duluan negosiasi :

  1. Para pihak harus memiliki harapan-harapan yang realitas dan mempunyai kriteria keberhasilan
  2. Para pihak harus memahami peta situasi dan kondisi tumpang tindih kewenangan dan benturan kewenangan.
  3. Para pihak harus menyadari bahwa tidak semua kepentingan dapat diperoleh melalui negosiasi.
  4. Para pihak harus mampu untuk kompromi.
  5. Wakil-wakil para pihak dalam negosiasi harus memiliki mandat penuh dan mempunyai pengalaman bernegosiasi.
  6. Para pihak dapat memakai konsultan baik sebagai mediator maupun sebagai negosiator.

Dari persyaratan diatas maka perlu adanya strategi yang dipadukan pemahaman kita yaitu harus dapat meyakinkan pihak-pihak sama-sama saling menguntungkan.

* Dosen Faperta Unimus,  Sekjen Ikatan Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Mnajemen FE Unimal Lhokseumawe (IMAPASMEN)

*Dikutip dari berbagai sumber.